Cari Blog Ini

Kamis, 07 April 2011

GADING DIMAKAN BAJING

Inilah robohnya pondokku, gadingku. Meski di sana aku mengenal Alif, Lam &Ha. Sekadar bernyanyi bersama Abu Nawas.Lalu kulihat Al-Ghazali menari di atas air. Ibnu Rushd berenang dalam kolam tinta.Sering juga kulihat Abu Hajar menghafal ayat.Semua terasa menyejukkan dan menyenangkan.Setiap hari aku bisa bermimpi,meskipun tidur beralaskan karpet berdebu, berjamur dan berkutu.

Tapi, kini tinggal cerita. Hanya puing,ilalang dan tak ada batu permata.Hanya debu bertumpuk melilip mata.Kemana anak-anak itu?Kemana anak-anak yang membaca ayat-ayat-Nya dengan terbata-bata?Anak-anak yang menggali kolam mencipta samudra?Kemana anak-anak yang mengantri sepiring nasi dan menyulap menjadi gading-gading bertabur permata?

Mungkinkah lenyap,karena angin begitu kencang menerpa?Atau karena "sang raja" hanya mementingkan tahta?Mungkinkah rakyat jelata menggeser singgasana?Agar hasil panen tahun ini untuk kemakmuran mereka.Agar titipan nenek moyang tak hilang sia-sia.

Jangan ajarkan aku tentang Magrib,sebab sejak Subuh sudah kutunggu-tunggu.Jangan ajarkan aku tentang kesabaran,sebab aku telah mengenal kata sabar,sebelum kata itu ditemukan.

Lebih baik,ajarkan aku tentang waktu.Sebab ia adalah tamu tak diundang dan susah kubendung.Ajarkan bagaimana cara kita bertemu agar gading-gading yang pernah kita tinggalkan tak dimakan bajing.

Kutulis keluh-kesah ini untuk mengganti tidur malamku.Siapa tahu bisa membangunkan kawan-kawan yang masih terlelap tidur. Sekadar berbagi kegundahan.Dan,bila kudapati tak ada satupun yang bangun,maka kucambuk kalian dengan keluh-kesah ini 1000 kali cambukan.

Bukit Cirendeu,10 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar